Rabu, 17 November 2010

BAB II

LANDASAN TEORI



2.1       Pengertian Umum Perbankan
Peran lembaga keuangan menduduki posisi fital / penting dalam ekonomi masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan pola struktural kebutuhan masyarakat akan penambahan financial dalam menjalankan usaha dan atau perekonomian secara luas. Untuk memperoleh pasar serta perluasan usaha perlu ditopang sarana financial yang memadai. Disinilah pentingnya lembagakeuangan diposisikan guna menopang kegiatan dan kelancaran perekonomian. Dengan berkembangnya teknologi dan cara berfikir yang semakin luas fungsi bank tidak hanya terpaku pada satu tujuan pendanaan secara konvensional tetapi sangat luas perkembanganya.
            Dengan luasnya cakupan perbankan saat ini memungkinkan untuk mempermudah sarana transaksi keuangan dalam berbagai sector perekonomian kehidupan masyarakat. Tetapi melihat cakupan pendanaan yang kian berkembang dalam berbagi sektor penggunaan lembaga keuangan ini mempunyai biaya sebagai bentuk bagi hasil. Yang dalam bank konvesional besarnya keuntungan di tentukan dengan sistem bunga yang besarnya prosentase ditentukan sebelumnya. Tetapi kalangan muslim mempunyai aturan tersendiri dalam pengaturan bentuk bagi hasil ini dalam dunia perbankan.

2.2       Pengertian dan Tujuan Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah kumpulan norma hukum yang bersumber dari Alquran dan hadist yang mengatur urusan perekonomian umat manusia. 
Tujuan ekonomi Islam menggunakan pendekatan antara lain: 
a. Konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia;
b. Alat pemuas kebutuhan manusia seimbang dengan tingkat kualitas manusia agar ia mampu meningkatkan kecerdasan dan kemampuan teknologinya guna menggali sumber-sumber alam yang masih terpendam;
c. Dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai moral harus diterapkan;
d. Pemerataan pendapatan dilakukan dengan mengingat sumber kekayaan seseorang diperoleh dari usaha halal, maka zakat sebagai sarana distribusi pendapatan merupakan sarana yang ampuh.

Dalam kegiatan ekonomi, Islam mengakui adanya motif laba (profit), namun motif laba itu terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral, sosial dan pembatasan diri, dan kalau batasan ini diikuti dan dilaksanakan dengan seksama akan merupakan suatu keseimbangan yang harmonis antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu ditemukan tiga asas filsafat hukum dalam ekonomi Islam yaitu sebagai berikut :
a. Semua yang ada di alam semesta, langit, bumi serta sumber-sumber alam lainnya, bahkan harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia adalah milik Allah, karena Dialah yang menciptakannya Semua ciptaan Allah itu tunduk pada kehendak dan ketentuan- Nya (QS. Thaha:6 dan QS. Al Maidah:120). Manusia sebagai khalifah berhak mengurus dan memanfaatkan alam semesta itu untuk kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan lingkungannya.
b. Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dengan alat perlengkapan yang sempurna, agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya di bumi. Semua makhluk lain terutama flora fauna diciptakan untuk kehidupannya (QS. Luqman:20, QS. An Nahl:10-16, QS. Fathir:27-28, QS. Az Zumar:21).
c. Beriman kepada hari kiamat dan hari pengadilan. Keyakinan pada hari kiamat merupakan asas penting dalam sistem ekonomi Islam, karena dengan keyakinan itu, tingkah laku ekonomi manusia akan dapat terkendali, sebab ia sadar bahwa perbuatannya termasuk tindakan ekonominya akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. pertanggungjawaban itu tidak hanya mengenai tingkah laku ekonominya
saja, tetapi juga mengenai harta yang diamanatkan Allah kepada manusia.

Ketiga asas pokok filsafat hukum ekonomi Islam tersebut melahirkan nilai-nilai
dasar yang menjadi sistem hukum ekonomi Islam, diantaranya sebagai berikut :
a. Pemilikan, menurut sistem hukum ekonomi Islam:
1) Pemilikan bukanlah kekuasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi kemampuan memanfaatkannya
2) Lama pemilikan atas hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum atau negara, atau sekurang sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia hidup di dunia ini dan kalau ia meninggal dunia, harta kekayaannya harus dibagikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan yang ditetapkan Allah (QS. An Nisa:7, 11, 12, 176)
3) Sumber-sumber daya alam yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi kurangnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum atau orang banyak.
b. Keseimbangan
Nilai dasar keseimbangan harus dijaga sebaik-baiknya, bukan saja antara kepentingaan dunia dengan kepentingan akhirat tetapi juga antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Disamping itu, harus dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban.
c. Keadilan
Kata keadilan dalam Alquran disebut lebih dari 1000 kali setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Ini berarti prinsip keadilan diterapkan dalam setiap segi kehidupan manusia terutama dalam kehidupan hukum, sosial, politik dan ekonomi, karena keadilan adalah titik tolak sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia.

Ketiga nilai-nilai dasar sistem hukum ekonomi Islam di atas merupakan pangkal (asal) nilai-nilai instrumentalnya. Nilai instrumental dimaksud ada lima, yaitu: zakat, larangan riba dan judi, kerjasama ekonomi, jaminan sosial, dan peranan negara. Kelima hal dimaksud, diuraikan sebagai berikut:
a.       Zakat
Zakat mempunyai arti yang penting dalam sistem ekonomi sehingga dalam Alquran disebutkan sebanyak 82 ayat setelah perintah sholat, sehingga zakat merupakan satusatunya rukun Islam yang diwajibkan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu. Zakat bukanlah pajak yang merupakan sumber pendapatan negara. Karena itu keduanya harus dibedakan. Zakat sebagai sumber dana masyarakat Islam, besar sekali manfaatnya apabila dikelola dengan manajemen yang baik dan dilaksanakan bersama dengan nilai instrumen lainnya, yaitu pelarangan riba.
b. Pelarangan riba dan judi
Riba dan judi mempunyai dampak negatif dalam kehidupan sosial ekonomi dan sosial kemasyarakatan lainnya sehingga Allah SWT melarangnya. Pelarangan riba dan judi dapat dilihat pada QS. Al Baqarah ayat 275, 276, 278, disebutkan dengan tegas dan jelas mengenai pelarangan riba dan judi.
c. Kerjasama ekonomi
Kerjasama dalam mewujudkan sistem hukum ekonomi Islam bersumber dari ajaran Islam diantaranya disebut qirad. Qirad adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha yang mempunyai keahlian , ketrampilan atau tenaga dalam melaksanakan unit-unit ekonomi atau usaha. Dalam praktiknya qirad dibagi 2, yaitu mudharabah dan musyarakah.
d. Jaminan sosial
Jaminan sosial merupakan salah satu nilai instrumental yang sangat penting dalam sistem hukum ekonomi Islam. Karena itu, melaksanakan jaminan sosial manusia dapat mendekatkan diri pada Allah, menjadikan harta mereka bersih dan berkembang, menghilangkan sifat tamak dan loba serta mementingkan diri sendiri.
e. Peranan negara
Peran negara pada umumnya dan pemerintah khususnya, sangat menentukan dalam nilai-nilai sistem hukum ekonomi Islam. Peranan tersebut diperlukan dalam aspek hukum, perencanaan, dan pengawasan alokasi, atau distribusi sumber daya dan dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

2.3      Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
           Dalam menjelaskan apa saja yang menjadi prinsip-prinsip ekonomi Islam, terdapat perbedaan pendapat dikalangan pemikir ekonomi Islam. Khurshid Ahmad, mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada: prinsip Tauhid, Rub’biyah, Khilafah, dan Tazkiyah46. Mahmud Muhammad Babali, menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al–ukhuwwah (persaudaraan), al–ihsan (berbuat baik), al–nasihah (memberi nasehat), al–istiqamah (teguh pendirian), dan al–taqwa (bersikap takwa). Dari berbagai kategorisasi diatas, pada dasarnya bahwa prinsip-prinsip ekonomi Islam, sebagai berikut:
a. Prinsip tauhid
Tauhid dalam ajatan Islam merupakan suatu hal yang sangat fundamental dan bahkan misi utama para Rasul Allah kepada umat manusia adalah dalam rangka penyampaian (tabliq) dalam ajaran Tauhid, yaitu menghimbau manusia untuk mengakui kedaulatan Tuhan serta berserah diri kepada-Nya, sekaligus sebagai tujuan utama kenabian. Para Nabi dan Rasul diutus dimuka bumi ini dalam rangka mengajak umat manusia untuk bersikap mengEsakan Allah SWT. Nabi Muhammad SAW dalam rangka mendakwahkan Islam, ajaran Tauhid merupakan ajaran dasar yang pertama kali ditanamkan pada diri umatnya, sebelum syariah maupun ajaran lainya.
Prinsip tauhid dalam ekonomi Islam sangat esensial, sebab prinsip ini mengajarkan kepada manusia agar dalam hubungan kemanusiannya (hablumminnas), sama pentingnya dengan hubungan dengan Allah (hablumminallah). Dalam arti manusia dalam melakukan aktivitas ekonominya didasarkan pada keadilan sosial yang bersumber kepada Al-Qur’an. Prinsip Tauhid juga berkaitan erat dengan aspek kepemilikan dalam Islam. Kepemilikan dalam Islam berbeda dengan kepemilikan yang ada dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Setiap kepemilikan dari hasil pendapatan yang tidak selaras dengan prinsip tauhid merupakan hubungan yang tidak Islami, karena konsep kepemilikan mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT, sedangkan kepemilikan oleh manusia bersifat relatif. Berkaitan dengan kepemilikan A. M. Saefuddin, menjelaskan cara manusia mendapatkan kepemilikan tersebut yaitu:
(1) kepemilikan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi, bukan menguasai sumber daya tersebut. Seorang muslim yang tidak memanfaatkan atau memproduksi manfaat dari sumber-sumber yang diamanatkan Allah tersebut akan kehilangan hak atas sumber daya itu.
(2) Kepemilikan terbatas sepanjang orang itu hidup di dunia, dan apabila orang itu meninggal maka hak kepemilikannya harus diditribusikan kepada ahli warisnya. Hal ini di dasarkan pada Surat Al-Baqarah (2) ayat 180 “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa“.
(3) Kepemilikan perorangan tidak di perbolehkan terhadap sumber-sumber yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi hajad hidup orang banyak. Sumber-sumber ini menjadi milik umum atau negara, tidak boleh atau dimiliki secara perorangan atau kelempok tertentu.
b. Prinsip keseimbangan
Kegiatan ekonomi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kesimbangan. Kesimbangan yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, tatapi juga berkaitan dengan keseimbangan kebutuhan individu dan kebutuhan kemasyarakatan (umum). Islam menekankan
keselarasan antara lahir dan batin, individu dan masyarakat.
Pencapaian kesejahteraan dunia dan akhirat dilakukan secara bersama sama. Oleh sebab itu, sumber daya ekonomi harus diarahkan untuk mencapai kedua kesejahteraan tersebut. Islam menolak secara tegas umat manusia yang terlalu rakus dengan penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran keberhasilan
ekonomi, sebagaimana tujuan ekonomi dalam system ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Melupakan salah satu aspek kesejahteraan di atas berarti menutup jalan kepada pencapaian kesejahteraan yang sejati. Keseimbangan dalam ekonomi Islam juga mengandung makna kesimbangan dalam mendistrbusikan kekayaan yang dimiliki Negara dari hasil pendapatan Negara seperti zakat, sedekah, ganimah (harta rampasan perang), fai (harta rampasan perang tidak melalui peperangan), kharaj (pajak atas daerah yang taklukan dalam perang), ushr (zakat tanaman), dan sebagainya.
c. Prinsip khilafah
Manusia adalah Khalifah (wakil) Allah dimuka bumi yang harus menjalankan aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan pemberi mandat kekhalifahan, Allah SWT. Posisi manusia sebagai khalifah dapat dilihat dalam berbagai ayat Al- Qur’an, seperti:
(1) QS. Al-Baqarah (2) ayat 3:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (kahlifah)di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
(2) QS. Al-An’am (6) ayat 165:
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa penguasa dibumi dan meninggikan sebagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“.
(3) QS. Faathir (35) ayat 39:
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka“.
Untuk mendukung tugas kekhalifihan tersebut manusia dibekali dengan berbagai kemampuan dan potensial spiritual. Disamping disediakan sumber material yang memungkinkan pelaksanaan misi itu dapat tercapai secara efektif. Prinsip khilafah, menurut Umer Chapra berimplikasi pada terjadinya:
(1) Persaudaraan universal
Prinsip khilafah dapat mewujudkan sikap persatuan dan persaudaraan yang mendasar dari umat manusia. Sebab setiap manusia merupakan khalifah dan kehormatan itu tidak dipegang atau dimonopoli oleh golongan atau orang tertentu. Juga tidak ditentukan oleh faktor kekayaan atau keturunan, semuanya memiliki hak yang sama. Dengan terjalinnya rasa persaudaraan itu, maka arah pengembangan ekonomi yang dilakukan bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan pribadi, tetapi lebih dari itu, secara bersama sama dan saling mendukung dalam pengembangan ekonomi yang memperkaya kehidupan manusia secara umum.
(2) Sumber sumber daya adalah amanat
Karena keberadaan manusia sebagai khalifah, maka sumber sumber daya yang diberikan Allah SWT kepada manusia dalam rangka tugasnya sebagai khalifah, merupakan amanat. Sumber sumber daya itu bukan milik mutlak manusia yang harus digunakan secara “sewenang wenang“.
(3) Gaya hidup sederhana
Implikasi sebagai posisi wakil, maka manusia harus bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Konsekuensinya adalah manusia harus selalu bersikap sederhana, dan hidupnya tidak mencerminkan kesombongan, keangkuhan dan kemegahan. Manusia tidak menggunakan seumber sumber daya alam secara berlebih lebihan dan tidak digunakan pada hal hal yang bertentangan dengan nilai nilai syariah.
d. Prinsip keadilan
Keadilan adalah salah satu prinsip yang penting dalam mekanisme perekonomian Islam. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an atau Sunnah Rasul, tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan hukum alam, dimana alam diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam ekonomi bisa diterapkan dalam penentuan harga, kualitas produk, perlakuan terhadap pekerja, dan dampak yang timbul dari berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan. Penegakan keadilan dan pembasmian untuk diskriminasi telah ditekankan oleh Al- Qur’an, bahwa dalam satu tujuan risalah kenabian adalah untukpenegakkan keadilan, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hadid (57) ayat 25:
“Sesungguhnya kami telah mengutus rasuk-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyatadan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan…”.

Allah SWT dalam Al-Qur’an menempatkan keadilan sederajad dengan kebajikan dan ketakwaan. Hal itu didasarkan pada QS. Al-Maidah (5) ayat 8:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan Adil. Dan janganlah sekali kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa...“.
Keadilan dalam pembangunan ekonomi masyarakat penting untuk diwujudkan. Ibnu Taimiyah sampai mengatakan bahwa “Tuhan akan mendukung pemerintah yang adil walaupun kafir, dan Tuhan tidak mendukung pemerintahan yang zalim walaupun Islam“. Pemerintahan yang tidak menegakkan keadilan dalam prinsip pembangunan dan tatanan sosial kemasyarakatannya, mustahil dapat berkembang.sebaliknya menurut Ibnu Khaldum, apabila dalam masyarakat prinsip keadilan tidak diterapkan, yang berlaku adalah penindasan dan eksploitasi antara sesama manusia, maka pembangunan dalam suatu masyarakat akan terhambat. Kalau ini terjadi maka akan berakibat pada kemunduran dan kehancuran negara. Jadi keadilan merupakan prinsip yang harus ditegakkan dalam pembangunan bangsa.

·        Perbankan Syariah dan Ruang Lingkupnya.
Bank Syariah sebenarnya berlaku untuk semua orang atau Universal. Syariah itu sendiri hanyalah sebuah prinsip atau system yang sesuai dengan aturan atau ajaran Islam. Manajemen Bank Syariah tidak banyak berbeda dengan manajemen bank pada umumnya ( Bank Konvesional). Namun dengan landasan Syariah serta sesuai dengan peraturan pemerintah yang menyangkut Bank Syariah serta sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang menyangkut Bank Syariah antara lain UU No.10 Tahun 1998 sebagai revisi UU No.7 Tahun 1992, tentu saja baik organisasi maupun system oprasional Bank Syariah terdapat perbedaan dengan bank pada umumnya, terutama adanya dewan pengawas Syariah dalam Struktur organisasi dan adanya system bagi hasil.
1). Sistem Syariah
Syariah atau syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat adalah jalan dalam agama. Menurut Istilah: Syariat adalah hukum - hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh salah seorang nabiNya (Muhamad SAW), baik hukum - hukum yang berhubungan dengan kepercayaan ( bidang Aqidah) maupun hukum yang berhubungan dengan amalliyah.10 Sedangkan menurut Prof. Mahmud Syaltoun mengatakan bahwa:
Syariat adalah : Peraturan yang diciptakan Allah atau diciptakan Nya pokok  pokoknya supaya manusia berpegang padanya didalam berhubungan dengan Tuhan denga saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya
Dari pengertian dan penjabaran para pakar diatas terlihat jelas bahwa. Islam sebagai agama, memuat ajaran kehidupan. yang bersifat universal dan komprehensip. Universal artinya bersifat umum dan komprehensip artinya mencakup seluruh bidang kehidupan.
          Berdasar system ajaran islam tersebut, bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara islam. Terlihat bahwa system muamalah sebagai sub ordinatnya syariah dalam islam adalah meliputi berbagai aspek ajaran, Muamalat adalah ketentuan ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan pribadi maupun antara perorangan dengan masyarakat. yaitu mulai dari persoalan hak atau hukum ( the right ) sampai kepada urusan lembaga keuangan. Lembaga keuangan diadakan dalam rangka untuk mewadahi aktifitas konsumsi, simpanan dan investasi. Konsumsi adalah kegiatan yang berkaitan dengan masalah pribadi, sedang simpanan menabung dan investasi adalah kegiatan seseorang yang berkaitan dengan lembaga keuangan. Secara umum lembaga keuangan meliputi dua lembaga, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Dalam melaksanakan kegiatan keuangannya kedua macam lembaga tersebut harus dapat menyeimbangkan antara posisi pendapatan uang dan posisi pengeluaran uang. Pada kegiatan ini, maka lembaga keuangan tersebut harus memiliki strategi manajemen keuangannya, secara baik.

Dalam perbankan syariah memiliki organisasi yang berbeda dengan bank konvesional yaitu:
(1) Bank umum syariah atau BPR syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah.
Dewan pengawas syariah ( DPS ) adalah badan independent yang ditempatkan oleh dewan Syariah nasional ( DSN ) pada bank. Anggota DPS harus terdiri dari pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum bidang perbankan. Persyaratan anggota DPS diatur dan ditetapkan oleh DSN.
(2) Dewan Syariah Nasional
Dewan syariah nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI ) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan nilai nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sector pada keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank dan reksa dana. Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (empat) tahun. DSN merupakan satu – satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis – jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan,serta mengawasi fatwa yang dimaksud.
(3) Sumber daya manusia perbankan syariah selain mempunyai kemampuan teknis dibidang perbankan, juga dituntut memiliki pengetahuan mengenai ketentuan dan prinsip syariah secara baik, serta memiliki akhlak dan moral islami. Akhlak dan moral islami dalam bekerja dapat disarikan dalam empat ciri pokok yaitu: Shidiq ( benar dan jujur ), tabliq (mengembangkan lingkungan / bawahan menuju kebaikan), amanah ( dapat dipercaya ) dan fathonah (kompeten dan professional ). Keempat cirri pokok tersebut menjadi ketentuan yang bersifat normative dalam penetapan kualitas sumber daya manusia baik pimpinan maupun pelaksanaan pada bank syariah.

·        Pengertian Bagi Hasil
Sistem perekonomian Islam merupakan masalah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan pada awal terjadinya kontrak kerja sama (akad), yang ditentukan adalah porsi masing-masing pihak, misalkan 20:80 yang berarti bahwa atas hasil usaha yang diperoleh akan didistribusikan sebesar 20% bagi pemilik dana (shahibul maal) dan 80% bagi pengelola dana (mudharib). Bagi Hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil merupakan salah satu praktik perbankan syariah.

Metode bagi hasil terdiri dari dua sistem:
a. Bagi untung (Profit Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Dalam system syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah;
b. Bagi hasil (Revenue Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah.

Aplikasi perbankan syariah pada umumnya, bank dapat menggunakan sistem profit sharing maupun revenue sharing tergantung kepada kebijakan masing-masing bank untuk memilih salah satu dari sistem yang ada. Bank-bank syariah yang ada di Indonesia saat ini semuanya menggunakan perhitungan bagi hasil atas dasar revenue sharing untuk mendistribusikan bagi hasil kepada para pemilik dana (deposan).
             Suatu bank menggunakan sistem profit sharing di mana bagi hasil dihitung dari pendapatan netto setelah dikurangi biaya bank, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah bagi hasil yang akan diterima oleh para shahibul maal (pemilik dana) akan semakin kecil, tentunya akan mempunyai dampak yang cukup signifikan apabila ternyata secara umum tingkat suku bunga pasar lebih tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi keinginan masyarakat untuk menginvestasikan dananya pada bank syariah yang berdampak menurunnya jumlah dana pihak ketiga secara keseluruhan, tetapi apabila bank tetap ingin mempertahankan sistem profit sharing tersebut dalam perhitungan bagi hasil mereka, maka jalan satu-satunya untuk menghindari resiko-resiko tersebut di atas, dengan cara bank harus mengalokasikan sebagian dari porsi bagi hasil yang mereka terima untuk subsidi terhadap bagi hasil yang akan dibagikan kepada nasabah pemilik dana.
              Suatu bank yang menggunakan sistem bagi hasil berdasarkan revenue sharing yaitu bagi hasil yang akan didistribusikan dihitung dari total pendapatan bank sebelum dikurangi dengan biaya bank, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga pasar yang berlaku. Kondisi ini akan mempengaruhi para pemilik dana untuk mengarahkan investasinya kepada bank syariah yang nyatanya justru mampu memberikan hasil yang optimal, sehingga akan berdampak kepada peningkatan total dana pihak ketiga pada bank syariah. Pertumbuhan dana pihak ketiga dengan cepat harus mampu diimbangi dengan penyalurannya dalam berbagai bentuk produk aset yang menarik, layak dan mampu memberikan tingkat profitabilitas yang maksimal bagi pemilik dana.
            Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Syafi'I yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang mengatakan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan sebagainya. Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.

Prinsip pembagian hasil usaha ada 2 yaitu:
a. Distribusi Hasil Usaha Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Revenue Sharing)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam distribusi hasil usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (revenue sharing) adalah sebagai berikut:
1) Pendapatan Operasi Utama (angka 1)
Pendapatan operasi utama bank syariah adalah pendapatan dari penyaluran dana pada investasi yanng dibenarkan syariah yaitu pendapatan penyaluran dana prinsip jual beli, bagi hasil dan prinsip ujroh. Besarnya pendapatan yang dibagikan dalam perhitungan distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing) ini adalah pendapatan (revenue) dari pengelolaan dana (penyaluran) sebesar porsi dana mudharabah (investasi tidak terikat) yang dihimpun tanpa adanya pengurangan beban-beban yang dikeluarkan oleh bank syariah.
2) Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat (angka 2)
Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat merupakan porsi bagi hasil dari hasil usaha (pendapatan) yang diserahkan oleh bank syariah kepada pemilik dana mudharabah mutlaqah (investasi tidak terikat). Penentuannya dilakukan dalam perhitungan distribusi hasil usaha yang sering disebut dengan profit distribution.
3) Pendapatan operasi lainnya (angka 3)
Praktik dalam penyaluran dana bank syariah mengenakan fee administrasi atas penyaluran tersebut yang besarnya disepakati antara bank sebagai pemilik dana dan debitur sebagai pengelola dana (mudharib). Pendapatan operasi lain yang diperoleh bank syariah adalah pendapatan atas kegiatan usaha bank syariah dalam memberikan layanan jasa keuangan dan kegiatan lain yang berbasis imbalan seperti pendapatan fee inkaso, fee transfer, fee LC dan fee kegiatan yang berbasis imbalan lainnya.
4) Beban Operasi (angka 4)
Pembagian hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing) semua beban yang dikeluarkan oleh bank syariah sebagai mudharib, baik beban untuk kepentingan bank syariah sendiri maupun untuk kepentingan pengelolaan dana mudharabah, seperti beban tenaga kerja, beban umum dan administrasi, beban operasi lainnya ditanggung oleh bank syariah sebagai mudharib.
b. Distribusi Hasil Usaha Berdasarkan Prinsip Bagi Untung (Profit Sharing)
Penerapan distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi untung (profit sharing) bukanlah hal yang mudah, karena pihak deposan harus siap menerima bagian kerugian apabila dalam pengelolaan dana mudharabah mengalami kerugian yang bukan akibat dari kelalaian mudharib sehingga uang yang diinvestasikan pada bank syariah menjadi berkurang. Di lain pihak, bank syariah sendiri harus secara jujur dan transparan menyampaikan beban-beban yang akan ditanggung dalam pengelolaan dana mudharabah, seperti membuat dan menentukan dengan tegas dan jelas beban yang akan dibebankan dalam pengelolaan dana mudharabah baik beban langsung maupun beban tidak langsung. Apabila bank syariah menerapkan pembagian hasil usaha berdasarkan prinsip bagi untung (profit sharing), bank syariah harus membuat dua laporan laba rugi yang terpisah, yaitu laporan laba rugi bank sebagai institusi keuangan syariah dan laporan pengelolaan dana mudharabah dimana bank sebagai mudharib.

1) Laporan hasil usaha mudharabah (bank sebagai mudharib)
Laporan hasil usaha mudharabah ini dibuat sebagai pertanggungjawaban bank syariah dalam mengelola dana mudharabah mutlaqah yang telah dipercayakan shahibul maal (deposan) kepada bank syariah sebagai mudharib. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam laporan ini yaitu:
a) Pendapatan operasi utama (angka1)
Pendapatan operasi utama perhitungannya sama dengan perhitungan distribusi hasil usaha yang mempergunakan prinsip revenue sharing. Besarnya pendapatan yang dibagikan dalam pembagian hasil usaha pada prinsip bagi untung (profit sharing) ini adalah pendapatan dari pengelolaan dana (penyaluran) sebesar porsi dari dana mudharabah (investasi tidak terikat) yang dihimpun.
b) Beban mudharabah
Bank syariah harus dapat memisahkan beban yang menjadi tanggungan bank syariah sendiri dan beban yang dibebankan pada pengelolaan dana mudharabah. Bank syariah harus menetapkan dengan tegas dan jelas beban-beban yang akan dipergunakan sebagai pengurang pendapatan pengelolaan dana mudharabah, baik beban tenaga kerja, beban umum dan administrasi, maupun beban-beban lainnya untuk disampaikan kepada shahibul maal sehingga mengetahuinya. Apabila bank syariah telah mengakui beban-beban sebagai pengurang pengelola dana mudharabah tidak diperkenankan diakui sebagai beban bank syariah sebagai pengelola institusi keuangan syariah sehingga jika terjadi pengembalian beban harus diakui sebagai pendapatan pengelolaan dana mudharabah, bukan sebagai pendapatan bank syariah selaku institusi keuangan syariah.
c) Laba atau rugi mudharabah (angka 3)
Pendapatan operasi utama dikurangi dengan beban mudharabah inilah yang akan menghasilkan laba atau rugi.

2) Laporan laba rugi bank syariah (bank sebagai institusi keuangan syariah)
Data-data yang ada pada laporan ini adalah data-data untuk kepentingan bank syariah sendiri dalam mengelola institusi keuangan syariah, khususnya beban-beban yang dikeluarkan oleh bank syariah dan data-data yang telah diperhitungkan dalam pembuatan laporan pengelolaan dana mudharabah. Dalam laporan laba rugi ini, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a) Pendapatan bank sebagai mudharib
Pendapatan yang ada dalam laporan ini adalah bagian pendapatan atas pengelolaan dana mudharabah yang diperoleh bank syariah dan pendapatan penyaluran yang menjadi milik bank syariah sendiri.
b) Pendapatan operasi lainnya (angka 3)
Pendapatan operasi ini adalah pendapatan yang sama dengan pendapatan operasi lainnya dalam prinsip bagi hasil.
c) Beban operasi
Beban-beban dalam laporan ini adalah beban-beban yang dikeluarkan oleh bank syariah sebagai institusi keuangan syariah sendiri tidak ada kaitannya dengan pengelolaan dana mudharabah baik beban tenaga kerja, beban umum dan administrasi serta beban-beban lainnya.

             Penentuan beban-beban ini merupakan unsur distribusi hasil usaha apabila bank syariah mempergunakan prinsip distribusi hasil usaha adalah pembagian laba (profit sharing), karena dalam prinsip ini hasil usaha yang akan dibagikan antara mudharib dan shahibul maal merupakan keuntungan yang diperoleh yaitu pendapatan pengelolaan dana mudharabah dikurangi dengan beban-beban yang dikeluarkan sehubungan dengan pengelolaan dana mudharabah.
           Apabila bank syariah mempergunakan prinsip profit sharing maka bank syariah harus dapat membedakan dengan jelas, transparan dan adil terhadap beban-beban yang merupakan pengurang dari pendapatan pengelolaan dana mudharabah (yang disebut dengan dana mudharabah) dan beban-beban yang merupakan pengeluaran bank syariah sebagai institusi keuangan (yang disebut dengan beban lembaga keuangan syariah). Semua beban dana mudharabah yang dikeluarkan sehubungan dengan pengelolaan dana mudharabah tersebut termasuk beban tenaga kerja, beban umum dan administrasi serta beban-beban lainnya. Sedangkan apabila bank syariah mempergunakan prinsip distribusi hasil usaha dengan pembagian hasil (revenue sharing) maka semua beban yang dikeluarkan oleh bank syariah menjadi tanggungan bank syariah sendiri sehingga tidak diperhitungkan dalam unsur distribusi hasil usaha

2.4      Perbedaan Bagi Hasil dengan Bunga
      Bank syari'ah berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi). Bank syari'ah tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank syari'ah dengan para deposan di satu pihak dan antara bank dan para nasabah investasi sebagai pengelola sumber dana para deposan dalam berbagai usaha produktif di pihak lain.
Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan memberi pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lain. Kompleksitas perbankan Islam tampak dari keragaman dan penamaan instrumen-instrumen yang digunakan serta pemahaman dalil-dalil hukum Islamnya.
Perbankan Syari'ah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslimin menarik atau membayar bunga (riba). Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur'an dan As Sunnah. Kedua sumber ini menyatakan bahwa penarikan bunga adalah tindakan pemerasan dan tidak adil sehingga tidak sesuai dengan gagasan Islam tentang keadilan dan hak-hak milik. Pembayaran dan penarikan bunga sebagaimana terjadi dalam sistem perbankan konvensional secara terang-terangan dilarang oleh Al-Qur’an, sehingga para investor harus diberi konpensasi dengan cara lain.
Perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan konvensional engan Syari'ah terletak pada mekanisme memperoleh pendapatan, yakni unga dan bagi hasil. Dalam hukum Islam lama (fiqh), bagi-hasil terdapat alam mudharabah dan musyarakah. Kedua bentuk perjanjian keuangan itu  dianggap dpt  menggantikan riba,  yang mengambil bentuk "bunga" antra bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan keuntungan agi pemilik dana. Namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata.
Ada beberapa istilah mudhrabah keuangan : giradh, muqaradhah,dan mudharabah. Keragamanistilah itu menggambarkan pengertian yang bernuansa geografis ketimbang perbedaan yg mendasar. Masyarakat Arab menyebutnya muqaradhah, orang-orang Irak mengistilahkannya dgn mudarobah. Di Perancis, perjanjian kerjasama itu disebut commanda.Terkait dengan kedua bentuk perjanjian itu, para pakar hukum Islamlama berbeda-beda dalam menjelaskannya. Praktek mudharabah danmusyarakah telah ada sebelum kedatangan Islam yang dibawa Nabi
Muhammad.
Mengenai mudharabah, Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa dasarhukumnya diambil dari sunnah dan perilaku sahabat Bahkan dalampenjelasan Abdullah Saeed, sunnah itu tidak otentik dari Nabi-SAW.SedangkanIbnu Hazm (456 H/ 1064 M) mengatakan bahwa tiap-tiap bagiandari fiqih berdasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah kecuali mudharabah,dimana kita tidak nncncmukan dasar apa pun tcntangnya.Sarakhsi (w.83,H/1090 M) yang merupakan ulama mazhad Hanafi mengatakan bahwamudharabah diperbolehkan karena orang-orang membutuhkan kontrak ini.
         Adapun Ibnu Rusyd (w. 595 H/ 1198 M) yang merupakan ulama madzhab Maliki, menganggapnya sebagai kesepakatan pribadi, 51 mudharabah tidaksccara langsung merujuk pada al-Qur'an dan Sunnah, tetapi berdasarkan padatradisi atau kebiasaan luas masyarakat Muslim pada masa permulaan Islam.
         Dilihat dalam pandangan sejarah, sistem bagi-hasil yang diterapkan dalam perbankan Islam dalam bentuk mudharabah sesungguhnyamerupakan suatu ciptaan yang baru sekarang ini. Bahkan bank Islam dalampengertian sckarang sesungguhnya tidak ada dalam sejarah peradaban Islamlama ataupun pertengahan. Sebab cara kerja bank Islam sama saja dengancara kerja bank konvensional. Karena itu, bagi-hasil yang digunakannyaberbeda dari bagi-hasil pada masa Rasulullah ataupun masa kehidupan parapakar hukum Islam lama. Bagi hasil pada masa Islam pertama dan abadpertengahan terjadi secara perseorangan atau antar individu sedangkan bagihasildalam bank Islam terjadi pada dua tingkat, yakni bagi-hasil investordengan bank dan bagi hasil bank dengan pengusaha. Perbedan itu lebih dipengaruhi segi kclembagaan bank itu sendiri.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar