Selasa, 30 November 2010

BAB V

KESIMPULAN

 Dengan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, penulis berusaha menyimpulkan beberapa poin dalam kesimpulan ini.
I. Ketentuan Sistem Bagi Hasil
Bank Syariah lebih mengutamakan produk dengan akad jual beli, padahal sebenarnya bank syariah memiliki produk unggulan yang merupakan produk khas dari bank syariah. Produk tersebut adalah Musyarokah dan Mudlorobah.
Pertama : Musyarokah dan Mudhorobah adalah suatu macam syarikat
Kedua : Musyarokah dan Mudhorobah orang yang menerimanya tidak berkewajiban untuk menjamin kerugian atau kehilangan dari harta modal bila tidak ada unsur kesengajaan dan keteledoran karena ia menjadi orang yang dipercaya.
Ketiga : Musyarokah dan Mudhorobah, orang yang menyerahkannya (pemilik modal harta tersebut) berhak mendapatkan bagiannya dalam keuntungan yang dihasilkan.
II. Produk  dan Jasa
a)Pendanaan
-Tabungan
-Deposito
-Giro
b)Pembiayaan
-Pembiayaan Griya BSM
-Gadai Emas BSM
-Mudharabah BSM
-Musyarakah BSM
-Murabahah BSM
-Talangan Haji BSM
-Bai' al-Istishna' BSM
-Qardh
-Ijarah Muntahiyah Bitamliik
-Hawalah
-Salam
c)Jasa
-Jasa produk
-Jasa operasional
-Jasa investasi
III.Penghimpunan Dana dengan Prinsip Mudharabah
1. Tabungan Mudharabah
Tabungan Mudaharabah adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang di persamakan dengan itu. Penarikan tunai tabungan hanya dapat dilakukan dengan slip penarikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam perbankan syariah tabungan yang memperguanakan prinsip ini adalah produk Tabungan Haji, Tabungan Qurban dan Tabungan Pendidikan. 
2. Deposito Mudharabah
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapt dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dan bank. Depositomudharabah merupakan simpanan dana dengan akad mudharabah di mana pemilik dana atau shahibul maal mempercayakan dananya untuk di kelola bank (mudharib) dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati sejak awal. Semua permintaan pembukaan deposito mudharabah harus di lengkapi dengan suatu akad/perjanjian yang berisi antara lain nama, alamat shahibul maal, jumlah deposito, jangka waktu, nisbah pembagian keuntungan, cara pembagian bagi hasil
IV. Prinsip Bagi Hasil dan Resiko dalam Penghimpunan Dana di Perbankan Syariah
Prinsip bagi hasil dalam penghimpunan dana hanya terdapat dalam prinsipMudharabah sedangkan dalam prinsip wadi’ah bank tidak di haruskan melakukan bagi hasil terhadapa nasabah, bank hanya akan memberikan bonus sesuai dengan kerelaan bank dan tidak boleh di perjanjikan sebelumnya. Sedangkan apabila mengalami kerugian akibat dari digunakannya dana oleh bank maka bank akan bertanggungjawab atas kerugian tersebut, sebaliknya apabila bank tidak menggunakan dana nasabah tersebut maka risiko tetap ditanggung nasabah sendiri. Risiko dalam artian bahwa apabila terjadi hal yang di luar kemampuan bank seperti terjadi bencana alam, maupun perang, maka bank tidak bisa di mintakan tanggung jawabnya.
V. Sistem dan Penyaluran Dana Mudharabah ke Masyarakat Pada Bank Syariah
Sistem Penyaluran Dana
-Sistem penyaluran dana produktif
-Sistem penyaluran dana konsumtif

VI.Hambatan-hambatan
1. Persepsi Masyarakat tentang Sistem Bagi Hasil
Persepsi masyarakat yang menganggap bahwa keuntungan nasabah yang melakukan akad kredit untuk usaha/investasinya yang didapat dari bank syariah pada akhirnya saat pengembalian kredit bila dihitung-hitung ternyata lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan dari sistem bunga pada bank konvensional, sehingga nasabah merasa rugi, dan akhirnya memilih bank konvensional sebagai tempat kredit. 
2. Operasional Bank Syariah dalam Praktek Perbankan Indonesia
            Sebagai suatu institusi yang baru di Indonesia, lembaga keuangan yang menganut sistem bank syariah menemui hambatan/permasalahan 

Jumat, 26 November 2010

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Tinjauan Umum
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka diberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk memberi kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah (penjelasan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998).
Dengan Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan lainnya yang berkenaan dengan Lembaga Keuangan Syariah dapat menampung aspirasi dari masyarakat, baik dalam ekonomi regional, nasional maupun dalam ekonomi internasional senantiasa melakukan kegiatan usahanya dengan nilai Ilahiyah dengan acuan utama Al-Quran dan Sunnah yang dimensi keberhasilan untuk dunia dan akhirat (Long term oriented).
Kehadiran sistem ekonomi Islam / Syari'ah di Indonesia pada gilirannya menuntut adanya perubahan di berbagai bidang, terutama berkenaan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur ihwal ekonomi dan keuangan..
Pada saat ini perkembangan bank syari'ah di Indonesia relatif berdiri sangat pesat dengan didirikan pertama kali pada tahun 1992 dengan nama Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada awal berdirinya keberadaan bank syari'ah belum mendapat perhatian yang optimal dalam industri perbankan nasional. Kemudian setelah UU No. 7 tahun 1992 diganti dengan UU No. 10 tahun 1998 yang mengatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari'ah,
maka bank syari'ah mulai menunjukkan perkembangannya.
Pengertian ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Abdullah Al-Arabi : Ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah, yang merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan diatas landasan dasardasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa.

Dari definisi tersebut terdiri dari dua bagian yaitu :
Pertama : Sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah, ciri asasi dari prinsip umum ini adalah bahwa prinsip itu tidak berubah ataupun berganti serta cocok untuk setiap saat dan tempat, tanpa peduli dengan tingkat kemajuan ekonomi dalam masyarakat.
Kedua : Bangunan perekonomian yang didirikan diatas landasan dasardasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa, maksud            dari istilah tersebut adalah cara-cara penyesuaian atau pemecahan         masalah ekonomi yang dapat dicapai oleh para ahli hukum Islam,           sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Dari berbagai definisi Bank Syariah yang dikemukakan oleh pakar yaitu Karnaen A. Perwaatmaja, Warkum Sumitro, Amin Aziz secara teknis mempunyai persamaan pengertian bahwa yang dimaksud dengan Bank Islam atau Bank Syariah adalah sebuah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dimana sistem dan tatacara dan mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Al-Qur'an dan hadis.
Dengan beroperasinya Bank Syariah di Indonesia (tahun 1992) menandai dimulainya era sistim perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia yang menggunakan sistim konvensional atau dengan prinsip Syariah.
Pada tahun 1999 diundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan pada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan Prinsip Syariah. Setelah kedua perangkat undang-undang tersebut diundangkan maka Lembaga Keuangan Syariah dalam perkembangannya lebih cepat dan pesat. Bank Syariah struktur organisasinya, segi akadnya, bisnis dan usaha yang dibiayai, lingkungan dan budaya kerja, paradigma penghimpunan dana, kegiatan operasional dan pengelolaan resiko serta lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut :
a. Struktur organisasi bank Syariah
Struktur Bank Syariah mengenal Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS), sedangkan pada Bank Umum Konvensional yang mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS) membuka Kantor Cabang Unit Syariah maka strukturnya dilengkapi dengan DPS.

Fungsi DSN dan DPS adalah sebagai berikut :
Fungsi DSN :
1. Mengawasi produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah
2. Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan lembaga keuangan syariah.
3. Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah.
4. Memberikan teguran kepada lembaga keuangan syariah jika terjadi penyimpangan dari garis panduan yang telah ditetapkan.

Fungsi DPS adalah sebagai berikut :
1. Mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar sesuai dengan ketentuan syariah
2. Membuat pernyataan berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.
3. Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.

b. Segi akad dan legalitasnya
Dalam bank syariah akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi karena dilakukan berdasarkan hukum Islam denganasas rela sama rela, asas manfaat dan asas keadilan serta asas saling menguntungkan. Dengan demikian hukum yang menjadi pedoman pada bank syariah adalah hukum Islam, dan hukum positif.


c. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Bisnis dan usaha yang dilaksanakan pada bank syariah tidak terlepas dari Kriteria syariah dengan demikian tidak mungkin membiayai usaha yang terkandung unsur haram atau hal-hal yang diharamkan. Sebelum menyetujui pembiayaan maka dipastikan beberapa hal pokok :
1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram
2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan dalam masyarakat
3. Apakah proyek termasuk perbuatan yang melanggar kesusilaan
4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian
5. Apakah usaha tersebut berkaitan dengan industri senjata yang illegal
6. Apakah proyek merugikan syiar Islam baik secara langsung maupun tidak langsung, dan lain-lain.
 Dengan demikian terdapat batasan dalam hal usaha yang dibiayai.

d. Lingkungan dan budaya kerja
Sebuah bank syariah harus memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Hal ini menyangkut etika kerja dan menjadikan panutan dari Sunnah Rasul Saw sebagai aplikasi dari nilai syariah dengan prinsip Shiddiq, amanah, al-hurriyah wal mas’uliyyah dan tabligh.

e. Paradigma penghimpunan dana
Dalam melakukan penghimpunan dana bank syariah mempunyai paradikma yang mendasar ditinjau dari segi tujuan masyarakat sebagai pemilik dana yakni masyarakat menyerahkan dananya adalah untuk investasi dari berbagai pembiayaan. Apabila memperoleh laba akan dibagi sesuai dengan nisbah bagi hasil sedang apabila bank menderita kerugian maka masyarakat ikut menanggung kerugian tersebut.

f. Kegiatan operasional dan pengelolaan resiko
Dengan adanya larangan riba dalam aktivitas ekonomi, para ahli hukum Islam sepakat bahwa transaksi yang perlu dijadikan dasar dalam perbankan syariah adalah prinsip bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing principle).
Bank syariah bertransaksi pada sektor riil disamping sektor finansial. Dalam melaksanakan fungsinya dalam penanaman dana perbankan syariah tidak melakukan pemberian kredit sebagaimana dilaksanakan oleh bank konvensional namun dengan kegiatan pembiayaan dengan prinsip mudharobah dan musyarokah, selanjutnya dalam hal bertransaksi jual beli menggunakan prinsip maurabahah, salam dan istisna’ serta menyewakan aktiva dengan prinsip ijaroh. Resiko usaha merupakan tingkat ketidakpastian mengenai suatu hasil yang tidak diperkirakan atau diharapkan akan diterima, resiko tidak hanya pada sisi aktiva tetapi juga pada sisi passive yaitu penurunan dana yang dihimpun dari masyarakat.

g. Lembaga penyelesaian sengketa
Jika terdapat sengketa antara bank konvensional atau bank syariah dengan nasabahnya atau mitra kerja, alternative penyelesaiannya yaitu :

1. Bank syariah jika terjadi masalah maka langkah awal yang dilakukan menyelesaikan secara musyawarah
2. Apabila musyawarah ternyata tidak berhasil maka syariah dapat memilih penyelesaiannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menurut prosedur beracara yang berlaku dalam badan arbitrase tersebut atau ke Pengadilan Agama.
Penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah adalah menjadi wewenang Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan menunjuk penjelasan pada pasal tersebut huruf 'I' : yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi :
a. Bank syariah;
b. Lembaga keuangan mikro syariah;
c. Asuransi syariah;
d. Reasuransi syariah;
e. Reksadana syariah;
f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
g. Sekuritas syariah;
h. Pembiayaan syariah;
I. Pegadaian syariah;
j. Dana pensiunan keuangan syariah dan
k. Bisnis syariah.

II. Ketentuan khusus tentang Sistem Bagi Hasil
Hadirnya bank syariah saat ini cenderung semakin baik dan produkproduk
dari bank syariah cukup lengkap, sehingga mampu memberikan pilihan bagi para nasabahnya dalam memanfaatkannya. Bank Syariah lebih mengutamakan produk dengan akad jual beli, padahal sebenarnya bank syariah memiliki produk unggulan yang merupakan produk khas dari bank syariah. Produk tersebut adalah Musyarokah dan Mudlorobah. Perlu diuraikan dalam tulisan ini beberapa hal yang berkaitan dengan produk Musyarokah dan Mudhorobah antara lain sebagai berikut :
Pertama : Musyarokah dan Mudhorobah adalah suatu macam syarikat
Kedua : Musyarokah dan Mudhorobah orang yang menerimanya tidak berkewajiban untuk menjamin kerugian atau kehilangan dari harta modal bila tidak ada unsur kesengajaan dan keteledoran karena ia menjadi orang yang dipercaya.
Ketiga : Musyarokah dan Mudhorobah, orang yang menyerahkannya (pemilik modal harta tersebut) berhak mendapatkan bagiannya dalam keuntungan yang dihasilkan.

Bagi hasil menurut terminologi asing (bahasa inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definisi profit sharing diartikan "distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu Perusahaan" menurut Antonio bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam dalam pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib)

Dengan demikian dari kedua pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem pengelolaan dana dalam pembagian hasil usaha dapat terjadi antara bank dan penyimpan dana. Sistem bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan dasar operasional bank syari'ah secara keseluruhan secara prinsip dalam perbankan syari'ah yang paling banyak dipakai adalah akad utama al- musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzaro'ah dan al-musakoh digunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan oleh beberapa bank Islam. Produk bank yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah :
a. Al-Musyarakah
Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan, kesepakatan pembagian keuntungan dan resiko ditentukan di awal perjanjian.
Ayat AI-Qur'an yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi musyarakah adalah :
" jikalau saudara-saudara itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (An-Nisa 12) " Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali ` orang
yang beriman dan mengerjakan amal Soleh”. (shaad: 24)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenaan dan pengakuan Allah SWT dengan adanya perserikatan dalam pemilikan harta. Hanya saja dalam surah an-Nisaa' :12 perkongsian terjadi dengan sendirinya dan paksaan. Dengan sendirinya berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya, karena waris (masih dalam satu keluarga). Paksa maksudnya tidak ada alterinatif untuk menolaknya. Hal ini terjadi pada proses waris-mewaris, manakala dua saudara atau lebih menerima warisan dari orang tua mereka. Dalam surah Shaad: 24 terjadi atas dasar akad ikhtiar. terjadinya suatu perkongsian secara dengan sendirinya tapi bebas. Dengan sendirinya berarti .tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya, bebas adanya pilihan atau option untuk
mengolah contoh dari perkongsian ini dapat dilihat apabila dua orang atau
lebih mendapatkan hadiah atau wasiat bersama dari pihak ketiga.
Hadits Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad musyarakah adalah
Musyarakah akad terbagi menjadi: al-'inan, al-muwafadhah, al- a maal, alwujuh,
dan al-mudharabah.
1.) Syirkah Al-‘Inan
Syirkah Al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang tclah disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dan maupun kerja dalam bagi hasil,
tidak harus sama atau identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
2.) Syirkah Muwafadhah
Syirkah Muwafadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih, setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis almuwafadhah ini ialah kesamaan dana yang diberikan kerja, tanggungjawab, dan beban utang di bagi oleh masing-masing pihak
3.) Syirkah A 'maal
Syirkah a’maal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor.
4.) Syirkah wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak diantara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestasi baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu lembaga perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disiapkan
oleh tiap mitra. Jenis a/-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan pada jaminan tersebut, karenanya kontrak ini lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
Menurut Sudarsono, secara garis besar berpendapat musyarakah dapat dibagi menjadi musyarakah amlak dan uqud.
5.) Syirkah Amlak berarti eksistensi suatu perkongsian tidak perlu kepada suatu kontrak membentuknya tetapi terjadi dengan :
Amlak Jabr terjadi perkongsian terjadi otomatis dan paksa. Paksa tidak ada altematif untuk menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris mewaris, manakala dua saudara atau lebih tnenerima warisan dari orang tua mereka.
Amlak Ikhtiar terjadi suatu perkongsian secara otomatis tetapi babas. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk memerlukanya. Babas adanyapilihan atau option untuk menolak, contoh dari jenis perkongsian ini dapat dilihat apabila dua orang atau lebih
mendapatkan hadiah atau wasiat bersama dari pihak keriga. Kedua bentuk kontrak diatas mempunyai karakteristik yang agak berbeda dari syarikat-syarikat lainnya. Dalam kedua syarikat ini masing-masing anggota tidak mempunyai hak untuk mewakilkan dan
mewakili terhadap partnernya.
6). Syirkah Ugud
Syirkah uqud berarti perkongsian yang terbentuk karena suatu kontrak, syarikah ini terbagi menjadi lima jenis :
(I) Inan, syirkah lnan atau batas perusahaan (limited company) mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Pertama, besarnya penyertaan modal dari masing-masing anggota tidak harus sama;
Kedua, masing-masing anggota mempunyai hak penuh untuk aktif langsung dalam pengelolaan usaha,
Ketiga, pembagian keuntungan didasarkan atas prosentase modal masing-masing tetapi dapat pula atas dasar negosiasi. Hal ini diperkenankan karena adanya kemungkinan tambahan kerja, atau penanggung resiko dari salah satu pihak, Keempat kerugian keuntungan bersama sesuai dengan besarnya penyertaan modal masingmasing.
Karena item terakhir ( 3 dan 4 ) dalam penjelasan dalam kaidah fiqiah “keuntungan dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama, sedang kerugian ditanggung sampai batas modal masing-masing”.
(II) Muwafadhah, berbeda dari syirkah inan, syirkah muwafadhah,
mengharuskan :
Pertama, Keidentikan penyertaan modal dari setiap anggota kedua, setiap anggota menjadi wakil dan kafil ( guarantor) bagi partner lainnya, untuk itu keaktifan anggota dalam pengelolaan usaha menjadi keharusan ketiga, pembagian keuntungan dan kerugian didasarkan atas besarnya modal masing-masing;
(III).Wujuh, syirkah wujuh dalam syirkah itu para anggota hanya mengandalkan wujuh (wibawa dan nama baik) mereka dan unsur modal atau dana sama sekali tidak diperhitungkan. Pembagian untung rugi dilakukan secara. negosiasi diantara para anggota.
(IV). Abdan, syirkah abdan atau a'maal yaitu syirkah bekerja dimana dua orang atau lebih yang sama atau kedekatan bentuk kerjanya menerima pesanan dari pihak ketiga dan membagi keuntungan melalui negosiasi bersama dari pendapat-pendapat tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa jenis musyarakah adalah musyarakah pemilikan (amlak)dan musyarakah akad atau kontrak (uqud).

b. Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana salah satu pihak menyediakan dana seluruhnya dan pihak lain menjadi pengelola dan apabila terjadi kerugian di tanggung oleh pihak yang mempunyai modal selama kerugian bukan kelalaian atau disengaja oleh pengelola.
Al-mudharabah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana konsumen dan bank menyediakan untuk pembiayaan proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, konsumen mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati oleh bank.
c. Al-Muzara’ah
         Menurut Antonio Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengelola pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan mcmberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen. Landasan Syari'ahnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar
bahwa rasulullah SAW pernah memberikan tanah kaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih yahudi) untuk digarap dengan imba1an pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil ½ : 2/3, ¼ , ¾ , ½ : 1/2 , maka rasulullah pun bersabda :
“hendaklah menemani atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya".
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja'far, tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya pengelola tanah secara muzara'ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Saad.bin Abi Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz, Qosim, Urwah keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.
    Dalam konteks lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi konsumen yang bergerak dalam bidang plantation atau pertanian atas dasar prinsip bagi hasil dari panen
d. Al- Musaqah
Menurut Antonio, a!-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaro’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan sabagian imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tersebut dari hasil panen.
Landasan Syari'ahnya adalah bahwa Ibnu Umar berkata bahwa rasulullah SAW pernah mernberikan tanah dan tanaman Kurma di khaibar kepada Yahudi khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh prosentase tertentu dari hasil panen. Telah berkata Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu thalib r,a bahwa rasulullah Saw telah menjadikan penduduk khaibar sebagai penggarap dan pemelihara dan atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Baku, Umar, Ali, sekeluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh khulafah Arab Saudi- Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tidak ada seorang pun menyanggahnya berarti, ini adalah suatu ijma' sukuti (konsensus) dari umat.

III.Produk dan Jasa
Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya Bank Syariah meletakkan dalam tiga hal besar yaitu:
�� Pendanaan
�� Pembiayaan
�� Jasa
a. Pendanaan
a). Tabungan
- Tabungan BSM
- Tabungan BSM Dollar
- Tabungan Mabrur BSM
- Tabungan Kurban BSM
- BSM Investa Cendekia
- Tabungan BSM Simpatik
b) Deposito
- Deposito BSM
- Deposito BSM ValaS
c) Giro
- Giro BSM EURO
- Giro BSM
- Giro BSM Valas
- Giro BSM Singapore Dollar
d) Obligasi
- Obligasi BSM
b. Pembiayaan
a) Pembiayaan Griya BSM
b) Gadai Emas BSM
c) Mudharabah BSM
d) Musyarakah BSM
e) Murabahah BSM
f) Talangan Haji BSM
g) Bai' al-Istishna' BSM
h) Qardh
i) Ijarah Muntahiyah Bitamliik
j) Hawalah
k) Salam
c. Jasa
a) Jasa Produk
- Kartu / ATM BSM
- BSM B-Payer
- BSM SMS Banking
- Jual Beli Valuta Asing
- Bank Garansi
- BSM Electronic Payroll
- SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam
Negeri)
- BSM Letter of Credit
- BSM SUMCH (Saudi Umrah & Haj Card)
b) Jasa Operasional
- Transfer Lintas Negara BSM Western Union
- Setoran Kliring
- Inkaso
- BSM Intercity Clearing
- BSM RTGS (Real Time Gross Settlement)
- Transfer Dalam Kota (LLG)
- Transfer Valas BSM
- Pajak Online BSM
- Pajak Import BSM
- Referensi Bank
- Standing Order
c) Jasa Investasi
- Reksadana

III. Penghimpunan Dana Dengan Prinsip Mudharabah
Mudharabah merupakan prinsip bagi hasil dan kerugian ketika nasabah sebagai pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan uangnya kepada bank sebagai pengusaha (mudharib) untuk diusahakan. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan apabila terjadi kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian bank dalam mengelola dana nasabah maka bank wajib bertanggung bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Penghimpunan dana yang dipergunakan adalah dengan prinsip mudharabah muthlaqah, yaitu shahibul
maal tidak memberikan batasan batasan atas dana yang di investasikannya, mudharib diberi wewenag penuh mengelola dana tersebut tanpa terikat waktu, tempat, dan jenis usaha.Prinsip Mudharbah muthlaqah yang diaplikasikan oleh perbankan syariah dalam bentuk tabungan mudharabah dan Deposito.
1. Tabungan Mudharabah
Tabungan Mudaharabah adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang di persamakan dengan itu. Penarikan tunai tabungan hanya dapat dilakukan dengan slip penarikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam perbankan syariah tabungan yang memperguanakan prinsip ini adalah produk Tabungan Haji, Tabungan Qurban dan Tabungan Pendidikan. Kesemuanya ini hanya dapat ditarik pada saat waktunya yang telah di sepakati. Tabungan mudharabah merupakan dengan akad mudharabah dimana pemilik dana (shahibul maal) mempercayakan dananya untuk
dikelola bank (mudharib) dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang di sepakati sejak awal. Tabungan mudharabah ini tidak dapat diambil sewaktu waktu sesuai dengan prinsip yang digunakan, tabungan mudharabah ini merupakan tabungan investasi yang di harapkan akan menghasilkan keuntungan oleh karena itu modal yang diserahkan kepada
pengelola dana (bank) tidak boleh ditarik sebelum akad tersebut berakhir hal ini disebabkan karena kelancaran usaha yang di lakukan oleh mudharib sehubungan dengan pengelolaan dana tersebut. Hal ini juga terkait dengan bagi hasil yang dilakukan dari keuntungan yang di peroleh bank, dalam bagi hasil usaha ini data yang digunakan adalah saldo rata rata yaitu penjumlahan saldo setiap tanggal dibagi dengan hari bagi hasil.
Ketentuan dalam tabungan Mudharabah ini adalah sebagai berikut:
a. dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana,
b. dalam kapasitasnya sebagai Mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain,
c. modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang,
d. pembagian keuntungan harus di nyatakan dalam bentuk nisbah dan di tuangkan dalam akad pembukaan rekening,
e. bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya,
f. bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

2. Deposito Mudharabah
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapt dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dan bank. Deposito mudharabah merupakan simpanan dana dengan akad mudharabah di mana pemilik dana atau shahibul maal mempercayakan dananya untuk di kelola bank (mudharib) dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati sejak awal. Semua permintaan pembukaan deposito mudharabah harus di lengkapi dengan suatu akad/perjanjian yang berisi antara lain nama, alamat shahibul maal, jumlah deposito, jangka waktu, nisbah pembagian keuntungan, cara pembagian bagi hasil107. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberian keuntungan serta risiko yang dapat timbul dari deposito tersebut. Setiap tanggal jatuh tempo deposito, pemilik dana berhak mendapatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah dari hasil investasi yang telah dilakukan oleh bank. Bagi hasil akan diterima oleh pemilik dana sesuai dengan perjanjian akad awal pada saat penempatan deposito tersebut. Periode penyimpanan dana ditentukan berdasarkan periode bulanan, dan dana hanya dapat ditarik sesuai dengan jatuh waktu yang disepakati. Adapun ketentuan deposito mudharabah adalah sebagai berikut:
a. dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana,
b. dalam kapastasnya sebagai Mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain,
c. modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang,
d. pembagian keuntungan harus di nyatakan dalam bentuk nisbah dan di tuangkan dalam akad pembukaan rekening,
e. bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya,
f. bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

IV. Prinsip bagi hasil dan risiko dalam penghimpunan dana di Perbankan Syariah
Prinsip bagi hasil dalam penghimpunan dana hanya terdapat dalam prinsip Mudharabah sedangkan dalam prinsip wadi’ah bank tidak di haruskan melakukan bagi hasil terhadapa nasabah, bank hanya akan memberikan bonus sesuai dengan kerelaan bank dan tidak boleh di perjanjikan sebelumnya. Sedangkan apabila mengalami kerugian akibat dari digunakannya dana oleh bank maka bank akan bertanggungjawab atas kerugian tersebut, sebaliknya apabila bank tidak menggunakan dana nasabah tersebut maka risiko tetap ditanggung nasabah sendiri. Risiko dalam artian bahwa apabila terjadi hal yang di luar kemampuan bank seperti terjadi bencana alam, maupun perang, maka bank tidak bisa di mintakan tanggung jawabnya. Hal ini disebabkan bank tidak memperoleh manfaat dari dana atau barang yang dititipkan. Bank bisa saja meminta imbalan jasa atas penitipan barang tersebut. Pembayaran imbalan bank syariah kepada deposan (pemilik dana) dalam bentuk bagi hasil besarnya sangat tergantung dari pendapatan yang diperoleh oleh bank sebagai mudharib atas pengelolaan dana mudharabah tersebut, apabila bank syariah memperoleh pendapatan yang besar maka bagi hasil juga akan besar, sebaliknya apabila bank memperoleh pendapatan yang kecil maka bagi hasil juga akan sedikit. Adapun cara perhitungan bagi hasil adalah dengan Revenue Sharing,artinya bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana.Ada beberapa factor yang mempengaruhi besar kecilnya bagi hasil di perbankan syariah yaitu:
a. besaran kontribusi dana investasi tidak semua dana dapat di investasikan langsung oleh bank karena adanya aturan yang mengharuskan untuk menyediakan dana untuk giro wajib minimum di Bank Indonesia. Besarnya dana yang di investasikan ini akan di
hitung dengan persentasi dari semua dana Mudharabah, jika bank memutuskan bahwa dana untuk investasi adalah 90% maka dana yang disimpan ada di giro wajib minimum Bank Indonesia adalah 10%.
b. penentuan jenis sumber dana yang diikutsertakan dalam bagi hasil.
Pada prinsipnya semua dana yang di himpun oleh Perbankan Syariah dapat di investasikan, tetapi untuk dana wadi’ah tergantung kesepakatan dengan deposan sejak awal apakah dananya dapat investasikan.
c. Jenis penyaluran dana dan pendapatan yang terkait
Dari hasil penelitian jenis penyaluran dana ini adalah semua kegiatan penyaluran dana seperti pembiayaan bagi hasil, jual beli, dan sewa akan menggunakan dana yang di himpun oleh bank dari masyarakat.
d. Penentuan pendapatan yang dibagi hasilkan
Dalam pendapatan bank ada pendapatan yang nyata diterima dan pendapatan yang masih dalam pengakuan. Pendapatan yang di bagi hasilkan adalah pendapatan sudah nyata diterima oleh bank dari keuntungan yang diperoleh, sedangkan pendapatan yang masih dalam pengakuan karena sifatnya belum pasti tidak harus di bagi hasilkan.
e. Nisbah yang disepakati sejak awal.
Besarnya bagi hasil yang diperoleh nasabah (shahibul maal) juga tergantung pada nisbah bagi hasil yang di sepakati sejak awal akad/perjanjian. Apabila nisbah bagi hasilnya besar maka besar pula bagi hasil yang di peroleh nasabah.

V. Sistem dan Penyaluran Dana Mudharabah ke Masyarakat Pada Bank Syariah
Secara prinsip Penyaluran dana ke Masyarakat ini adalah pembiayaan, yang merupakan produk usaha Bank syariah Mandiri. Dalam penyaluran dananya, bank syariah berpedoman pada prinsip kehati – hatian. Maka dengan hal ini Marketing dan bagian Kredit diwajibkan meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat.
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank: yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak – pihak yang merupakan deficit unit.
1). System Penyaluran Dana
Menurut penggunaanya system Penyaluran Dana terbagi menjadi dua hal yaitu;
(1). Penyaluran Dana Produktif
Yaitu: Penyaluran Dana berupa pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk meningkatkan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
(2). Penyaluran Dana Konsumtif
Yaitu: Penyaluran Dana berupa pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada pembiayaan Produktif, yang didalamnya masuk pula pembiayaan modal Kerja maupun Pembiayaan Investasi.
o Pembiayaan modal Kerja merupakan Pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan kuantitatif ( jumlah hasil produksi ) dan kualitatif ( Peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi ).
o Pembiayaan Investasi merupakan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan barang – barang modal ( capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitanya dengan barang
tersebut.
Berkaitan dengan permasalahan walaupun di Bank Syariah Mandiri menempatkan bentuk pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah sebagai Prinsip Bagi Hasil, tapi penulis
mefokuskan pada pembiayaan dengan prinsip Bagi Hasil dengan bentuk Mudharabah. Hal ini berkaitan dengan Nasabah Bank syariah Mandiri Kudus yang lebih cenderung kepada bentuk Pembiayaan Mudharabah.
Pembiayaan Mudharabah adalah : kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak Bank sebagai Sohibul Mal menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak Mudhorib menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

VI. HAMBATAN-HAMBATAN

Perjalanan sejarah Lembaga Keuangan Islam telah berjalan kurang lebih enam tahun. Umur ini telah cukup representatif bila dilakukan penilaian terhadap perkembangannya. Sehingga wajar bila akhir-akhir ini banyak sorotan yang terlontar dari masyarakat, baik yang positif maupun negative. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-Undang Perbankan Syariah No.10 tahun 1998, didalamnya mencakup sistem perbankan bagi hasil dan bank syariah, yang selanjutnya berkembang sistem perbankan syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia, BPR syariah, dan ditambah lagi Baitul Mal wat Tamwil, keberadaan lembaga keuangan ini, kini telah menjadi bahan kajian menarik untuk dipelajari.
Banyak sorotan pendapat yang mengatakan bagi hasil dan mark-up yang diberikan oleh sistem perbankan syariah sama saja dengan bunga bank konvensional. Prosentase dan jumlah rupiahnya adalah tidak berbeda. Dari sini timbul pertanyaan mendasar, apakah ini merupakan fenomena yang sama yang dialami seperti pada zaman Rasulullah Saw, bahwa orang Arab Jahiliyah mengatakan jual beli sama dengan riba, atau bahkan menjadi sebuah tantangan bagi para pengelola perbankan syariah dalam melakukan konsolidasi dan reaktualisasi ?
Kehadiran lembaga keuangan syariah di persada ini memiliki misi khusus. Misi yang paling utama adalah misi sosial dan bisnis. Berkaitan dengan ini, lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, disamping membawa misi juga sekaligus membawa beban yang membuatnya harus dikelola secara ekstra ketat. Hal ini harus dipahami dan disadari betul oleh para pengelola bank syariah, mereka harus mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk dunia akhirat. Bank syariah membawa misi keadilan, maka untuk dapat
menjalani usaha yang halal harus diawasi oleh Dewan Syariat. Jika ada sekelompok orang mau mendirikan bank syariah, akan dibela mati-matian jangan sampai bank syariah itu rusak atau bahkan bubar, karena disitu ada misi. Bukan saja kemungkinan banknya yang rugi, tetapi disitu membawa nama syariat. Dengan demikian, bahwa dalam pengelolaannya adalah lebih rawan dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Bisnis perbankan syariah merupakan suatu bisnis yang mencoba memadukan konsep kebersamaan dalam berusaha dan menjalankanperlombaan antara nasabah dengan para pengelola dalam mendapatkan keberuntungan dunia akhirat. Sebagai institusi bisnis yang masih berada pada tahap awal perkembangan, Bank Syariah di tanah air sampai saat ini masih menghadapi berbagai hambatan, antara lain masih adanya sebagian masyarakat kita yang salah persepsi tentang bank syariah dan kurang memahami konsep bunga dari Bank Syariah sehingga menganggap sistem bagi hasil bank syariah lebih merugikan bila dibandingkan sistem bunga bank Konvensional.
Perbedaan mencolok pada bank konvensional dengan bank syariah adalah tentang pengembalian modal yang dipinjam, dimana bank konvensional dalam akad, sedangkan bank syariah dengan terlebih dahulu menghitung keuntungan atas usaha dengan modal yang dipinjamkan oleh bank dan kemudian membaginya pada kedua belah pihak baik peminjam ataupun pihak bank. Berdasarkan perbedaan mendasar yang terjadi antara bank
konvensional dan bank syariah ini terjadi hambatan-hambatan yaitu :
1. Persepsi Masyarakat tentang Sistem Bagi Hasil
Persepsi masyarakat yang menganggap bahwa keuntungan nasabah yang melakukan akad kredit untuk usaha/investasinya yang didapat dari bank syariah pada akhirnya saat pengembalian kredit bila dihitung-hitung ternyata lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan dari sistem bunga pada bank konvensional, sehingga nasabah merasa rugi, dan akhirnya memilih bank konvensional sebagai tempat kredit. Hal ini dapat dipahami karena sistem bagi hasil dihitung berdasarkan jumlah laba yang diperoleh berdasarkan dari modal yang dipinjamkan. Sedangkan pada bank konvensional, bunga sudah ditetapkan pada saat akad kredit sehingga laba yang besar yang diperoleh oleh nasabah akan dapat dinikmatinya sendiri. Ditambah lagi dengan masih adanya silang pendapat diantara umat Islam tentang suku bunga dilihat dari hukum Islam. Ada ulama yang mengharamkan bunga bank (riba), sementara ada juga ulama yang membolehkan rente dalam transaksi pinjam-meminjam asalkan tidak untuk tujuan konsumsi. Ketidakpastian pendapat ulama ini akhirnya berpengaruh pada umat Islam untuk mengambil bank konvensional dalam memperoleh kredit. Menurut si Budi (Mr.X) Karyawan Bank Syariah Jakarta Timur Ada beberapa hambatan dalam rangka menunjang keberhasilan operasional perbankan syariah sebagai berikut :
1. Belum adanya kesiapan nasabah menerima bagi hasil yang rendah atau tanpa imbalan sama sekali
2. Setelah bank syariah memperoleh laba riil, maka nasabah mulai memperoleh bagi hasil
3. Belum dipahami nasabah bahwa pada tahap awal, khususnya pada masa 3 bulan pertama kondisi masih zero. Sebab pada tahap ini Bank memulai dengan modal saja, tanpa tabungan. Dan mungkin baru kira-kira enam bulan, Bank baru mendapatkan tabungan.
Bagaimana persaingannya dengan bank konvensional? Bolehkah bank syariah mengambil kebijakan bagi hasil setara dengan tingkat bunga yang berlaku. Ini akan menjadi beban jika masih mengambil dari modal, nanti pertanggung-jawabannya kepada pemegang saham bahwa modalnya semakin berkurang atau pendapatannya kecil. Ini bisa dilakukan, tetapi harus diingat bahwa kalau beban itu digeserkan kepada yang meminjam,
orang tidak akan lagi membedakan apa itu bank syariah atau bank konvensional, sehingga akan fatal akibatnya. Ciri-ciri bank syariah yang melakukan praktek semacam itu dapat terlihat, yaitu :
Pertama, jika pembiayaan Baiu Bitsaman Ajil atau Murabahah mahal, mark-upnya tinggi. Jika pembiayaan dengan sistem bagi hasil, maka bank yang menentukan, bukan hasil musyawarah dengan debitur. Sedangkan pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), yang mengetahui tentang usaha itu adalah mudharib (debitur). Sama halnya pada bank, maka banklah yang mengetahui usahanya, bukan deposan sehingga bank berani menentukan bagi hasil tabungan dan deposito.
Di sisi penyaluran dana, karena mudharib yang mengetahui, dialah yang menentukan. Kalau sudah lain, timbul pertanyaan apakah bank syariah atau bukan. Bahkan kadang-kadang lebih mahal sehingga masyarakat bingung, jika tidak diambil, ini bank syariah, namun jika diambil akan memberatkan. Padahal masyarakat sudah terlanjur ingin terbebas dari bunga karena riba. Tetapi karena tidak ada alternatif lain, maka tetap diambil meskipun berat.
Hal paling rawan lagi adalah bank syariah yang telah menerapkan pembiayaan mudharabah (pembiayaan yang seratus persen dananya disediakan oleh bank), yaitu pada kepercayaan. Bank percaya atau tidak, apabila nasabah mengeluarkan biaya-biaya sebagaimana yang ia laporkan. Inilah kesulitannya, yaitu semua aparat dari manajemen bank sampai kepada mudharib semua harus benar dan jujur (amanah).
Persaingan dunia perbankan di tanah air kita sekarang ini semakin ketat, apalagi dengan adanya depresiasi rupiah, maka masing-masing bank berusaha memberikan suku bunga yang tinggi. Dalam kondisi ini, bagaimana sikap bank syariah dalam kaitannya dengan upaya operasionalnya
2. Operasional Bank Syariah dalam Praktek Perbankan Indonesia
Sebagai suatu institusi yang baru di Indonesia, lembaga keuangan yang menganut sistem bank syariah antara lain menemui hambatan/permasalahan sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan Sistem Bank Syariah mengacu pada UU Perbankan No 7/1992 dan Peraturan Pemerintah No 72/1992. Dengan demikian lembaga keuangan Sistem Bank Syariah masuk dalam ukuran bank konvensional, sehingga dalam produk-produknya harus menyesuaikan dengan perundangan yang berlaku.
2. Jumlah bank-bank konvensional yang cukup banyak, yang beroperasi sampai pada tingkat-tingkat kecamatan bahkan sampai di desa-desa. Ini berarti persaingan cukup berat dihadapi oleh bank dengan Sistem Bank Syariah, karena bank-bank syariah baru beroperasi pada tingkat kota-kota besar di Indonesia.
3. Umat Islam di Indonesia telah mengenal dunia perbankan sejak lama, tetapi dengan lembaga keuangan Sistem Bank Syariah belum begitu akrab. Akibatnya terdapat kesulitan dalam menerapkan sistem bagi hasil dalam pemberian kredit. Kredit yang disalurkan masih sangat minim bila dibandingkan dengan total dana masyarakat yang
terhimpun.
4. Perkembangan produk bank konvensional yang sangat bervariasi dengan iming-iming hadiah yang sangat menggiurkan. Sementara produk bank berdasarkan Sistem Bank Syariah belum banyak dikenal umat Islam.
5. Aplikasi teknologi canggih oleh bank-bank konvensional dalam rangka pelayanannya akan semakin menyulitkan keuangan dengan Sistem Bank Syariah untuk mengimbanginya.